Awal Jumpa dengan Pemuja Rahasiaku
Aku tak
ingat persis waktu itu tanggal berapa. Namun yang ku ingat hari itu adalah hari
Senin di bulan Februari tahun 2013. Aku mengenakan dress putih, celana hitam
dan jilbab warna hijau. Lucu juga kalau mengingat memory kala itu.
Di suatu
pagi, aku duduk sendiri di belakang Gedung E FKIP kampusku. Aku tengah
menangis, menangis karena sedang ada masalah kecil dengan pacarku, sebut saja
namanya “John” (bukan nama sebenarnya). Tiba-tiba datang seorang laki-laki dengan
wajah polos seakan merasa tak berdosa sembari menggodaku dengan malu.
“Heii mbak”
(sapa dia sambil tersenyum)
Aku yang
masih menangis pun kaget dan langsung mengangkat kepalaku yang tadinya
menunduk. Aku mengusap air mataku serta memberi senyuman kecil sebagai bentuk
jawaban atas sapanya.
Dia pun
duduk di depanku dan bertanya dengan bahasa Jawa krama:
“Namine sinten mbak? Kok piyambak’an mawon wonten mriki?”
“Sulis
mas. Lha mas’e sinten”, jawabku singkat.
“Alek Santoso mbak. Alek ngangge “k” boten “x”. A.L.E.K.” dia memberi
tahu namanya dengan mengeja, karena namanya memang sedikit tak biasa. Nama alex
wajarnya juga menggunakan huruf “x” tetapi namanya menggunakan huruf “k”.
“Mbak’e jurusan napa? Semester pinten mbak?” tanyanya
lagi seperti halnya seorang wartawan.
“Basa Jawi mas, semester sekawan. Lha mas’e jurusan napa? semester
pinten?” gantian
aku yang melempar pertanyaan padanya.
Dia pun
menjawab:
“Nek kula seni rupa mbak, semester........” jawabnya menggantung
sambil menunjukkan senyum malu. Yapp, ternyata dia sudah semester akhir yang
sedang melakukan penelitian untuk skripsinya. Dia datang ke kampus karena ingin
bertemu dosen untuk mengurus beberapa berkas penelitian.
Rasa tak
percaya pun menghantui fikiranku. Timbul berbagai pertanyaan “masak iya anak
senirupa” gumamku dalam hati. Dia terlihat begitu rapi bila menjadi mahasiswa
seni rupa. Pada umumnya, mahasiswa seni rupa berpenampilan layaknya anak
brandal. Rambut panjang tanpa diikat, kaos dan baju compang-camping, celana
robek-robek, sepatu besar, tas totebag, dan memegang rokok. Hal tersebut yang
membuatku tak begitu suka dengan mahasiswa seni rupa. Aku pun mulai dibuat
penasaran olehnya.
Aku melihat
jam di tanganku, ternyata sudah saatnya untuk masuk kelas. Aku pun pamit
padanya untuk segera masuk ke kelas.
Kelasku ada
di lantai dua, aku menuju kelas bersama dengan teman-temanku. Seperti biasa,
aku selalu memilih tempat duduk paling depan bagian kiri, dekat dengan jendela.
Sambil menunggu dosen datang, aku pun ngobrol dengan teman-temanku yang duduk
di belakangku. Aku melihat ke arah pintu masuk kelas, tak ku sangka dia ada di
depan ruang kelasku, sambil memandangiku dan tersenyum. Aku sedikit merasa
takut, karena merasa dibuntuti dan diteror. Dosen datang, dan akupun mengikuti
kuliah dengan fikiranku sedikit kacau karena dia masih menungguiku di depan
ruang kuliah.
Di sela-sela
mengerjakan tugas dari dosen, aku menyempatkan diri untuk kembali melihat ke
arah pintu ruang kuliah, mengecek apakah dia masih ada disana atau tidak. Dan
ternyata dia masih disana dengan beberapa temannya.
Kuliahpun
usai, aku keluar kelas. Dia menghampiriku. Aku sungkan dengan John yang kala
itu masih menjadi pacarku. Aku berusaha menghindar dan segera pergi
meninggalkannya.
Karena masih
merasa penasaran, aku mencoba mencari facebooknya. Ku ketikkan nama “Alek
santosa” di kolom search friend. Yang muncul buanyak banget, namun tidak ada
satupun tanda-tanda yang menunjukkan bahwa salah satu dari akun-akun facebook
tersebut miliknya. Setelah cukup lama mencari dan tak kunjung menemukan, aku
pun menyerah.
Keesokan
harinya, temanku yang bernama Nana memberitahuku bahwa kemarin mas Alek mencari
facebookku dengan search “Sulis” tak menemukan akun facebook milikku. Nana pun
meminta nomor hp-ku untuk diberikan padanya.
Pengen
ketawa juga sih, ketika tahu kalau ternyata kemarin dia juga mencari-cari
facebookku. Ibarat sinetron atau FTV, mungkin peristiwa yang kulakukan dan dia
lakukan ketika mencari akun facebook masing-masing secara bersamaan bisa
disandingkan dalam scene yang berbeda. Haha
Beberapa
hari kemudian, ada sms masuk dari nomor yang masih begitu asing bagiku. Sms
dari pengguna provider Axiz (yaaaaa,, cukup jarang juga orang-orang menggunakan
provider tersebut). Aku pun membukanya. Ternyata sms dari Mas Alek. Akupun
membalasnya dengan balasan wajar. Karena aku sadar, kala itu aku masih milik
John.
Agar tidak
terjadi kesalahpahaman, akupun menceritakan tentang Mas Alek pada John. Dia
mengerti dan bisa menerima, meski dalam hatinya mungkin ada sedikit rasa tak
rela.
Hari terus berjalan,
aku mulai akrab dengan Mas Alek melalui komunikasi dan obrolan di sms. Facebook
pun juga sudah saling berteman. Namun keakraban tersebut tak membuatku lupa
akan John dan statusku. Aku masih tetap membatasi keakrabanku dengan Mas Alek,
dan berusaha menjaga John agar tak berfikir aneh-aneh.
Selang seminggu
dari awal jumpaku dengan Mas Alek, tak ku sangka dan tak ku duga. Secara
diam-diam, dia ternyata mendownload fotoku yang ada di facebook. Fotoku yang
sudah didownload tersebut pun dicetak dalam ukuran yang cukup besar, kira-kira
ukuran kertas folio (F4). Tak sebatas dicetak, tetapi foto tersebut ia gunakan
sebagai contoh dalam dia melukis. Mas Alek melukisku dengan pensil di kampus.
Hal tersebut diketahui oleh beberapa teman sekelasku.
Aku duduk di
depan ruang kuliahku. Temanku yang baru saja melihat Mas Alek melukisku pun
menyapaku “cieeee dindaa dilukis anak seni rupa bagus banget ig” Aku pun hanya
bisa bengong dan bingung. “Aku? dilukis anak seni rupa? siapa? seingetku aku
tak pernah order lukis wajah pada anak seni rupa” ucapku dalam hati.
Kemudian
datang lagi beberapa teman, menyapaku dengan mengatakan hal yang sama “dindaa
dilukis anak seni rupa.i bagus banget, mirip banget lukisannya”. Setelah cukup
banyak teman-teman yang mengatakan hal tersebut padaku, aku pun penasaran. Aku
mencoba mengecek, aku pura-pura lewat di belakang gedung E, tempat dimana Mas
Alek melukisku. Dan apa yang kutemui, ternyata benar, Mas Alek sedang melukis
wajahku disana. Aku menghampirinya dengan sedikit marah “Iki maksud.e apa mas?” Dia kaget mendengar ucapku, diapun menjawab
dengan sedikit rasa takut karena melihat aku marah. “Ngapunten mbak, boten maksud kula gambar jenengan tanpa ijin. Kula
namung seneng kaliyan foto jenengan sing niki. Trus kula gambar. Ngapunten
mbak, ampun nesu nggih.” Aiih, mendengar jawabannya yang begitu sopan
dengan menggunakan bahasa Jawa krama, marahku langsung redam. Aku langsung
meninggalkannya.
Hal tersebut
membuat John sedikit curiga dengan Mas Alek, dia khawatir kalau Mas Alek
meyukaiku. Namun aku slalu berusaha meyakinkannya kalau aku dan Mas Alek tak
ada hubungan lebih, hanya sebatas kenal sebagai teman. Aku juga mengatakan kalau
aku tak tau apa-apa soal Mas Alek yang menggambar wajahku. Aku tak pernah
memintanya.
Setelah
kejadian tersebut, aku dan Mas Alek tak lagi saling berkomunikasi. Hingga suatu
hari, Mas Alek meng-smsku, memberitahu bahwa dia ingin memberikan hasil
gambarnya kemarin kepadaku. Aku pun mengiyakan dengan menjawab smsnya singkat.
Di belakang
gedung E, dia sudah menungguku. Ketika aku datang menghampirinya, dia langsung
memberikan gambar tersebut yang sudah diframe dan dibungkus rapi. Aku tak lupa
mengucapkan terima kasih dan menerimanya sambil berjalan. Aku demikian karena
masih ada sedikit rasa kecewa karena dia menggambarku tanpa ijin. Kalau
difikir, sebenernya jahat juga sih, aku menerimanya sambil jalan
meninggalkannya, seakan tak punya sopan-santun saja diriku ini. Hemmmmm
Bungkusan
tersebut pun aku bawa ke ruang kuliah, semua teman-temanku bertanya itu
bingkisan isinya apa, dari siapa. Aku pun membukanya, dan semua teman-temanku
melihat gambar wajahku dengan pensil. Mereka menilai gambar itu begitu bagus,
detail, dan begitu mirip. Mereka menggodaku, tetapi aku justru merasa tak enak
karena posisiku punya pacar satu kelas, namun aku diberi gambar wajah oleh
laki-laki lain. John tak marah padaku, karena aku menerima lukisan itu. Usai
kuliah, aku menitipkan lukisan itu untuk dibawa ke kost John, karena pada hari
itu aku membawa laptop, sehingga tasku tak muat bila harus dimasuki lagi gambar
lukisan yang sudah diframe.
Semenjak
hari itu, aku dan Mas Alek mulai lost contact. Aku dan Mas Alek sudah tak
saling berkomunikasi. Aku menjalani hariku seperti biasa dengan pacarku John.
Mas Alekpun menjalani harinya sendiri.
Tanpa
kusadari, ternyata selama ini Mas Alek selalu memperhatikanku dari jauh. Ketika
aku shalat di masjid, dia pun selalu menungguku keluar, berharap dia bisa
melihatku. Dia tahu aku masih berada di dalam masjid, karena dia hafal dengan
warna dan model sepatu yang biasa aku pakai. Hal tersebut aku ketahui setelah
dia menceritakan semua setahun kemudian, yakni ketika aku dan Mas Alek sudah
menjalin kisah cinta. Selama satu tahun, diam-diam Mas Alek menjadi pemuja
rahasiaku. Haha :*
I love you,
my secret admirer (^.^)~ ({}) *bighugs
Komentar
Posting Komentar