Kepergian Ibu Asih
Sebenernya
kisah ini masih termasuk dalam Boyolali My Destiny, tapi aku lebih memilih
judul ‘Kepergian Ibu Asih’ daripada ‘Boyolali My Destiny #3’.
Aku yakin
takdir Allah selalu luar biasa, dan aku benar-benar mengalaminya. Bukan tanpa
sebab mengapa Allah memindahkanku untuk PPL di Boyolali. Ketika itu adalah masa
yang benar-benar berat dan sulit dialami oleh Mas Alek. Yaaa, Allah
menginginkanku ada di samping Mas Alek, mendampingi Mas Alek, menguatkan Mas
Alek.
Sekitar awal
bulan Oktober 2014, ibu Asih, ibunya Mas Alek jatuh sakit. Beliau tidak mau
makan, hingga badannya lemas dan tidak ada tenaga. Mas Alek, Windar, dan akupun
selalu berusaha keras untuk membujuk ibu agar mau makan. Tapi ibu tetap ndak
mau makan, mungkin ibu merasakan sakit di salah satu bagian organ tubuhnya,
namun ibu tak pernah mau mengatakan.
Hingga pada
suatu ketika ibu benar-benar tak berdaya dan dibawa ke rumah sakit. Dokter
hanya bilang kalau ibu sakit karena perutnya tidak kemasukan nasi sehingga
lemas. Hanya semalam di rumah sakit, kemudian ibu diperbolehkan untuk pulang
dan dirawat di rumah. Sesekali pulang PPL, aku menyambangi rumah Mas Alek untuk
melihat keadaan ibu, bantu Windar untuk nyuapin ibu, bersihin badan ibu, dll,
karena Mas Alek terkadang pulang kerja hingga malam. Hingga kalau hari
menjelang maghrib, aku pulang ke kost di Boyolali kota.
Seminggu
dirawat di rumah, lagi-lagi kondisi ibu cukup mengkhawatirkan hingga harus
dilarikan ke rumah sakit lagi. Sekitar maghrib aku mendapat kabar kalau ibu
dibawa ke rumah sakit, aku pun segera bergegas dan setelah isya’ aku langsung menuju
rumah sakit. Aku beranikan diri dari Boyolali kota menuju RSUD Banyudono. Udara
begitu dingin, angin malam membuat perutku mual. Aku juga belum makan. Tapi aku
mengabaikan rasa di perutku.
Sesampainya
di rumah sakit, disana ada budhe dan pakdhe. Ngobrol sebentar, kemudian tengah
malam budhe dan pakdhe pun pulang. Aku nginep di rumah sakit sama Windar dan
Mas Alek buat jagain ibu. Keesokan harinya, pagi-pagi aku pulang karena harus
ngajar. Windar kuliah rada siang, jadi paginya bisa jagain ibu dulu. Sedangkan
Mas Alek juga harus kerja.
Kali ini
dokter mengatakan kalau ada sedikit gangguan di lambung ibu. Ibu harus opname
untuk beberapa waktu. Sempat bingung kala itu, kalau ibu opname, siapa yang
akan jaga di rumah sakit. Windar kuliah, Mas Alek kerja. Bertiga ‘rembugan’
soal gantian buat jagain ibu. Kalau aku libur ngajar, aku yang jagain ibu di
rumah sakit. Kalau windar kuliah siang, ntar sepulang ngajar aku langsung ke
rumah sakit dan Windar berangkat kuliah. Kalau windar kuliah pagi dan aku
ngajar, Mas Alek ijin ndak kerja. Lumayan repot juga ngatur jadwal, tapi ini
udah kewajiban kita sebagai anak buat ngrawat orang tua. Apapun yang dilakukan
oleh anak untuk orang tua ndak akan mampu membalas segala pengorbanan yang
dilakukan orang tua pada anak-anaknya.
Beberapa
minggu kemudian ibu sudah diperbolehkan untuk pulang. Kita bertiga masih harus
merawat ibu di rumah, ibu masih sering susah kalau soal makan. Aku putar akal
supaya ibu mau makan. Kadang aku buatin kuah sayur buat dimaem ibu, yang
penting perut ibu ndak kosong. Aku paksa sedikit demi sedikit. Ibu mulai nyaman
sama aku, aku senang dengan hal tersebut. Ibu mau dengerin kata-kata aku, ibu
mau makan kalau aku suapin.
Makin hari
keadaan ibu makin membaik. Ibu sudah bisa duduk bersandar, ibu sudah mau
bicara, ibu sudah lumayan mudah untuk makan. Itu semua membuat Mas Alek,
Windar, dan aku lega. Namun selang beberapa minggu, kondisi ibu kembali
memburuk. Hingga harus dilarikan ke rumah sakit lagi. Ibu mendapat rujukan
untuk dirawat di RS Yarsiss. Mas Alek dan Windar secara bergantian menjaga ibu.
Di hari pertama dan hari kedua ibu dirawat, aku belum bisa menjenguk kesana,
karena sepulang PPL aku ada kuliah hingga petang. Dan hari ketiga, aku sama Mas
Avie berencana untuk menjenguk ibu di Yarsiss, karena rumah sakit tersebut
cukup jauh dari kostku, jadi kami berdua fikir mungkin nanti boncengan pakai
satu motor saja. Belum sempat kami menjenguk, tengah malam harinya aku mendapat
kabar dari Windar kalau ibu sudah tidak ada. 17 November 2014, ibu
menghembuskan nafas terakhir.
Aku membaca
sms dari Windar sudah sekitar pukul empat ketika aku bangun. Aku syok, hatiku
hancur, tangisku pecah. Aku langsung bergegas mandi, aku sms ketua PPL ku kalau
hari itu ijin ndak berangkat ke sekolah. Pagi-pagi buta aku menuju rumah Mas
Alek, disana sudah banyak saudara dan tetangga yang berkumpul. Air mataku
semakin tak terbendung. Orang pertama yang kutemui adalah bapak, aku bertanya
dimana ibu, apa masih di rumah sakit atau sudah di rumah. Kemudian bapak
mengantarku ke ruang tengah. Disana jasad ibu sudah terbaring dengan tertutup
kain putih. Aku memberanikan diri untuk membuka kain putih penutup wajahnya.
Aku pandangi wajah cantik itu untuk terakhir kali. Aku cium keningnya, kemudian
ku tutup lagi. Aku masih tak percaya ibu telah pergi untuk selamanya.
Aku baru
ingat peristiwa beberapa hari lalu, pertemuan terakhirku dengan ibu. Ketika ibu
aku suapi, ibu memandangiku sayu tanpa kedip. Seakan mata beliau mengatakan
terima kasih. Usai menyuapi, aku beranjak dari duduk akan mengembalikan mangkok
ke tempat cucian piring. Tapi ibu memegang tanganku erat, ibu seakan tak mau
aku tinggal. Aku pun mengatakan kalau aku hanya pergi sebentar untuk menaruh
mangkok. Ibu pun melepaskan genggaman tangannya pada tanganku. Dari tempat cucian
piring, aku kembali duduk di samping ibu. Disitu ibu memegangi telapak tanganku
sembari dielus. Aku hanya melempar senyum ke ibu. Disitu aku merasa kasih
sayang ibu begitu besar ke aku. Dan aku tak menyangka, ternyata itu semua ibu
lakukan sebagai wujud perpisahan ke aku.
Aku merasa
tak kuat menerima kenyataan bahwa pada akhirnya ibu meninggalkan kami semua.
Namun, aku selalu meyakinkan diri bahwa takdir ibu hanya sampai disini. Semoga
ibu mendapat tempat terbaik di sisi-Nya. Setidaknya aku telah diberi kesempatan
Allah untuk menunjukkan wujud baktiku pada ibu dari kekasihku, ibu yang telah
melahirkan orang yang aku sayang. Ini masa-masa sulit Mas Alek ketika ditinggal
pergi ibunya untuk selamanya. Watak pria cancer yang hatinya begitu menyatu
dengan seorang ibu, tiba-tiba harus terpisah. Mas Alek begitu terpukul. Aku tak
tega melihatnya lemas.
Seluruh
tetangga menyiapkan berbagai perlengkapan, aku pun membantu. Tetangga mungkin
merasa asing ada aku disitu. Aku pun memperkenalkan diri sebagai teman Windar.
Namun bapak dan budhe malah mengatakan pada tetangga kalau aku calon Mas Alek.
Hufft.. Jasad ibu dimandikan, aku menahan tangis batinku melihat jasad cantik
itu kini tak bernyawa. Setelah itu dikafani dan dishalatkan. Aku ikut menyolatkan
sebagai bentuk penghormatan terakhirku. Selang beberapa waktu, ibu diiring ke
makam untuk dikuburkan. Aku menggandeng tubuh Windar yang juga lemas, Mas Alek
jalan sendiri dengan pandangan kosong yang masih belum bisa menerima kenyataan
kalau ibunya meninggal.
Gundukan
tanah bertabur bunga mawar. Kemudian kami semua meninggalkannya. Kebersamaanku
dengan ibu masih melayang-layang di fikiranku. Teman-teman Mas Alek dan
teman-teman Windar silih berganti datang menyampaikan duka. Aku cukup lega,
ketika melihat Mas Alek bisa sedikit ketawa ketika teman-temannya datang. Namun
tawa itu kembali hilang setelah Mas Alek sendiri. Sakit, melihat orang yang
begitu aku sayang terlihat begitu sedih. Ingin sekali aku memeluknya untuk sekedar
menenangkan hatinya. Namun apa daya, aku hanya mampu memeluknya dalam doa.
Usai semua
tetangga pergi, di rumah hanya ada Mas Alek, Windar, aku, budhe, dan pakdhe.
Budhe meminta kami bertiga untuk makan, karena sejak pagi kami belum makan. Mas
Alek tetap ndak mau makan. Kesedihanku semakin mendalam melihat Mas Alek yang hanya
menyendiri dan diam.
Ini yang aku
maksud takdir Allah selalu luar biasa. Aku tak tahu apa jadinya kalau aku
benar-benar PPL di Gondangrejo. Namun Allah Maha tahu apa yang manusia tidak
tahu, Allah memindahkanku untuk PPL di Boyolali dengan alasan ini semua.
Awesome. Subhanallah...
Komentar
Posting Komentar